Analisa Potensi Energi Surya untuk Energi Listrik Banda Aceh dan Sekitarnya

Analisa Potensi Energi Surya untuk Energi Listrik Banda Aceh dan Sekitarnya

Ahmad Syuhada, Jurnal Teknik Mesin Unsyiah, volume 7, nomor 1 (Juni 2019) ISSN 2301-8224

Ahmad Syuhada, Zahrul Fuadi, Bayu Alif Satari
Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7 Darussalam – Banda Aceh 23111, Indonesia
e-mail: bayualifsatari@gmail.com

Abstract
Electrical energy crisis has become a common problem in Indonesia. Particularly Banda Aceh and surrounding areas, the impact of this phenomenon was a direct impact on the activities of the community. In general, Indonesia has a tropical climate that is potentially going to optimal utilization of solar energy. Particularly Banda Aceh and the surrounding in general have a geographical location in the coastal areas, which have the potential of solar energy potential. This study aims to analyze the potential value and also the effectiveness of solar energy, then analyze the electrical power generated by the solar cell in Banda Aceh and its surroundings. To determine the value of the potential of solar energy begins to measure and collect the value of the intensity of the sun. In case this is done by using the solar cell by measuring the intensity of the sun, current, voltage and temperature. This research was supported by the data collecting solar intensity value for 2 months at three different points, namely in Thermal Engineering Laboratory, BMKG Blang Bintang and SMK PPN Saree. This study degan manifold uses polycrystalline silicon solar cell with an area of 0.715 m2 solar intensity values obtained on October 27, 2016 amounted to 596 Watt / m2, and the output power of electricity by an average of 52.27 Watt. In October 28, 2016 the average light intensity of 475 Watts/ m^2 dan electric power output by an average of 31.37 Watt. In October 31, 2016 the average light intensity of 330 Watts / m^2, and the output power of electricity by an average of 30.77 Watt. In 1 November 2016 the average light intensity of 686 Watts / m^2, and the output power of electricity by an average of 50.93 Watt. In 2 November 2016 the average light intensity of 675 Watts / m^2, and the output power of electricity by an average of 49.84 Watt.

Keywords: Solar Energy, Solar Intensity, Solar Cell, Electrical Output Power.

1. Pendahuluan
Masalah energi listrik umumnya di Indonesia saat ini cukup rumit, hal ini ditandai dengan sering terjadinya pemadaman bergilir seperti halnya di Provinsi Aceh Khususnya Kota Banda Aceh. Hali ini
di tunjukkan oleh peningkatan permintaan energi sampai 2020 yang diperkirakan akan terus meningkat sampai 6,5% setiap tahunnya [1]. Dengan ini pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan EBT mengacu kepada Perpres No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, untuk memenuhi kebutuhan energi listrik nasional [2].

Efek dari pemadaman listrik ini sendiri sangat berdampak langsung kepada aktifitas masyarakat. Salah satu contohnya terganggunya proses belajar mengajar pada siswa maupun mahsiswa, terhambatnya aktifitas pertanian oleh petani, sampai terganggunya produksi pabrik dalam skala kecil maupun besar. Diperlukan usaha–usaha untuk mencari sumber alternatif lain dengan tetap mempertimbangkan aspek teknis, ekonomi dan juga lingkungan Seperti halnya energi surya. Sebagai negara beriklim tropis, Indonesia mempunyai potensi energi surya yang cukup potensial. Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, untuk kawasan barat dan timur Indonesia dengan distribusi penyinaran di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar 4,5kWh/m2 per hari dengan variasi bulanan sekitar 10%, dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1kWh/m2 perhari dengan variasi perbulan sekitar 9% [3].

Untuk itu pemanfaatan dari potensi energi surya ini sangat dibutuhkan, sebagai energi terbarukan yang sangat potensial dikarenakan letak geografis Banda Aceh di daerah pesisir. Mengacu pada kebijakan pemerintah dalam Perpres ini disebutkan kontribusi EBT dalam hal ini energi surya mencapai 5%. dengan kebutuhan energy listrik Banda Aceh dan Aceh Besar sebesar 115,9 MW [4]. Maka pemanfaatan energi terbarukan dalam hal ini energi surya memiliki kedudukan sebesar 5,79 MW yang harus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik Banda Aceh dan sekitarnya. Energi matahari dapat dimanfaatkan untuk sistem pembangkit listrik tenaga surya, yang juga nantinya
akan di kombinasikan menjadi energi alternatif antara sumber energi surya dan energi listrik dari penyedia utama (PLN) . Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) adalah sistem pembangkit listrik yang dimanfaatkan dibelahan dunia dan jika dieksplotasi dengan tepat, pembangkit energi ini berpotensi mampu menyediakan kebutuhan konsumsi energi masyarakat di Banda Aceh dan sekitarnya saat ini dalam jangka waktu yang lebih lama dan juga ramah lingkungan.

2. Tinjauan pustaka
2.1. Radiasi Matahari

Matahari adalah sebuah bulatan gas panas yang memiliki diameter 1,39 × 10^9 dan berjarak sekitar 1,5 × 10^11 m dari bumi. Matahari dianggap sebagai sebuah benda hitam yang memiliki suhu 5762 K. Suhu di pusat adalah 8 × 10^6 K sampai 40 × 10^6 K dan memiliki densitas 100 kali dari air [7].

Energi matahari sampai ke bumi dalam bentuk cahaya dan sinar ultraviolet. Dari seluruh jumlah radiasi matahari yang menuju permukaan bumi. Sepertiganya dipantulkan kembali ke ruang angkasa
oleh atmosfer dan permukaan bumi. Pemantulan radiasi oleh atmosfer terjadi karena adanya awan dan partikel yang disebut aerosol. Dua per tiga radiasi yang tidak dipantulkan, Sebahagian radiasi gelombang pendek yang dipancarkan oleh bumi diserap oleh gas – gas tertentu di dalam atmosfer dan
sisanya diteruskan ke permukaan bumi [8].

2.2. Solar Cell
Solar cell atau yang sering disebut juga (fotovoltaik) adalah elemen aktif (semikonduktor) yang memanfaatkan efek fotovoltaik untuk mengubah energi surya menjadi energi listrik secara langsung menjadi energi listrik DC (arus searah) dengan menggunakan kristal Si (silicon) tanpa penggunaan dari bagian-bagian mekanis yang bergerak dan tanpa penggunaan bahan bakar [9].

2.3. Perhitungan Daya
Untuk besarnya daya pada solar cell (Pout) yang dihasilkan oleh sel Fotovoltaik dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut [11]:

Pout = Voc x Isc x FF (1)
Dimana:
Pout = Daya yang dibangkitkan panel (Watt)
Voc  = Tegangan rangkaian terbuka panel (Volt)
Isc   = Arus hubung singkat panel (Ampere)
FF   = Fill Faktor

Fill factor didefinisikan sebagai rasio daya maksimum Fotovoltaik terhadap hasil kali Voc dan Isc. Fill factor juga merupakan ukuran besarnya deviasi karakteristik I-V terhadap kurva ideal dioda. Nilai Fill faktor ini umumnya sebesar 0,75-0,99.

Nilai FF dapat diperoleh dari rumus:

FF = V .I / Voc . Isc (2) 

Adapun menurut Volker Quasching, daya fotovoltaik
input (Pin) dengan persamaan [8]:

Pin = Ir x A (3)

Dimana
Pin  = Daya input radiasi matahari (Watt)
Ir    = Intensitas radiasi matahari (Watt/m2)
A    = Luas area permukaan fotovoltaik module (m2)

2.4. Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) adalah suatu teknologi pembangkit listrik yang mengkonversi energi foton dari radiasi matahari menjadi energi listrik. Konversi ini dilakukan pada panel surya yang terdiri dari sel – sel fotovoltaik. Sel–sel ini merupakan lapisan–lapisan tipis dari silicon (Si) murni atau bahan semikonduktor lainnya yang diproses sedemikian rupa, sehingga apabila bahan tersebut mendapat energi foton akan mengeksitasi electron dari ikatan atomnya menjadi electron yang bergerak bebas, dan pada akhirnya akan mengeluarkan tegangan listrik arus searah [11].

A. Komponen – Komponen Utama PLTS
Terdapat berbagai komponen Pembangkit
Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai berikut :
- Solar Panel
- Charge Controller
- Inverter
- Baterai

3. Metode Penelitian
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan data percobaan ini direncanakan di halaman Laboratorium Rekayasa Termal Jurusan Teknik Mesin Universitas Syiah Kuala, BMKG Blang Bintang, dan juga SMK PPN Saree. Sedangkan waktu penelitian dan data yang di butuhkan dimulai dari bulan September hingga bulan Desember.

3.2. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah daya keluaran (watt) yang dihasilkan oleh nilai intensitas matahari (Watt/m^2).

3.3. Peralatan Penelitian.
Peralatan yang digunakan untuk pengujian adalah sebagai berikut:
  • Panel Surya jenis Polycrystalline silicon dengan spesifikasi, Daya : 80 watt, tegangan maksimum: 42 V dan arus maksimum: 4 A dengan luas penampang 0,715 m2.
  • Baterai dengan spesifikasi, Kapasitas: 50 Ah, tegangan 12 V.
  • Inverter dengan spesifikasi, kapasitas: maksimum 500 Watt, 11- 13 VDC dan 200-230 VAC.
  • Charger controler dengan spesifikasi, boost charge : 14,5 V, Low voltage disconnect: 11,6 V, dengan rated input 12 VDC/10A dan rated output 12VDC/10A.
  • PC Laptop ASUS, Intel inside Core i5, RAM 4
  • GB dengan OS (Operating System) Windows 7
  • Ultimate 64-bit.

3.4. Prosedur Penelitian
  • Melakukan studi literatur dan menentukan parameter yang akan di gunakan yang bersumber dari buku, jurnal, dan internet.
  • Perakitan sistem sel surya.
  • Melakukan pengujian dan pengumpulan data yang dibutuhkan, adapun sumber data yang di perlukan adalah data priemer
  • Melakukan analisa data intensitas cahaya matahari dan daya keluaran yang dihasilkan
  • panel surya.
  • Memasukkan data dan membuat kurva potensi energi surya untuk energi listrik di Banda Aceh dan sekitarnya.

3.5. Alat Ukur Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa alat ukur yang
digunakan yaitu
  • Lux meter, untuk mengukur nilai intensitas
  • matahari
  • Multimeter, untuk mengukur arus dan tegangan
  • solar cell
  • Jam, untuk mengukur waktu

4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Data hasil pengukuran
Pada proses pengambilan data diawali dengan pengambilan data intensitas cahaya matahari menggunakan alat ukur lux meter. Kemudian pengambilan nilai tegangan dan arus yang dihasilkan panel surya menggunakan multitester, dilanjutkan dengan pengambilan data kenaikan temperatur dengan menggunakan thermometer, Data di ambil pada tiga titik, yaitu halaman Laboratorium Rekayasa Termal Jurusan Teknik Mesin Universitas Syiah Kuala, BMKG Blang Bintang, dan juga SMK PPN Saree. Adapun proses pengambilan data dilakukan setiap hari selama 2 bulan, diawali dari pukul 09.00 sampai dengan pukul 17.00 WIB.

Daftar Pustaka
[1]. Hasyim, A. Abdul ,R. Feri ,S.P. 2013, Pemanfaatan Solar Cell dengan PLN sebagai Energi Listrik Rumah Tinggal, Jurnal Emitor. Volume 14 , No 01.
[2]. JDI Hukum., “Peraturan Presiden Republik Indonesia”, 2006, Website: http//www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/2006/5TAHU N2006 PERPRES.htm, Diakses tangal 27 November 2016.
[3]. Arif Wisuda, Rizky. 2015, Pemanfaatan Energi Surya Untuk Daya- Daya Terpakai, Tugas Akhir, Universitas Syiah Kuala.
[4]. Satu Energi., 2015, “Kondisi Kelistrikan di Aceh”, Website: http://www.satuenergi.com
/2015/11/kondisi-kelistrikan-di-aceh.html., Diakses tanggal 27 November 2016.
[5]. Kreith, F., 1994, Prinsip – prinsip Perpindahan Panas, Terjemahan Prijono, Erlangga, Jakarta.
[6]. Lakitan, B., 2004, Dasar-dasar klimatologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
[7]. Duffie, J. A., 2006, Solar Engineering of Thermal Processes. 3rd edition, Wiley & Sons.
[8]. BMKG, 2012, Buku Informasi Perubahan Iklim dan Kualitas Udara di Indonesia, Jakarta.
[9]. Buresh, M., 1983, Photovoltaic energy System Design and Installation. United States of America. McGraw Hill Book Company.
[10].Quaschning, Volker. 2005, Understanding Renewable Energy System. London, Sterling, VA: Earthscan.
PEMANFAATAN OLI BEKAS DENGAN PENCAMPURAN MINYAK TANAH SEBAGAI BAHAN BAKAR PADA ATOMIZING BURNER

PEMANFAATAN OLI BEKAS DENGAN PENCAMPURAN MINYAK TANAH SEBAGAI BAHAN BAKAR PADA ATOMIZING BURNER

Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 10, No. 2, 2009: 156 - 168


THE USE OF TRACE OIL WITH PETROLEUM BLANDED

AS FUEL IN BURNER ATOMIZING

Wahyu Purwo Raharjo
Jurusan Teknik Mesin
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan Surakarta

ABSTRAK

Selama ini oli bekas belum dimanfaatkan secara optimal, baru digunakan untuk membakar batu kapur. Saat ini terdapat metode alternatif mntuk mendaur ulang pelumas bekas ini yaitu dengan menambahkan asam sulfat pekat dan lempung, serta dengan mendistilasikannya hingga temperatur 200oC. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan mencampurkannya dengan bahan bakar lain yang lebih encer, seperti minyak tanah. Pelumas bekas yang telah dicampur dengan minyak tanah selanjutnya dipakai sebagai bahan bakar menggunakan atomizing burner bertekanan tinggi. Dalam penelitian ini oli bekas dicampurkan dengan minyak tanah dengan perbandingan volume minyak tanah 10%, 20%, 30% dan 40%. Kebutuhan udara selama pembakaran berasal dari blower dengan debit udara 8m2/s. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi kadar campuran minyak tanah pada oli bekas terhadap sifat-sifat fisik bahan bakar dan temperatur pembakaran. Dari penelitian diperoleh bahwa kadar campuran minyak tanah yang semakin tinggi akan menurunkan viskositas serta titik nyala bahan bakar. Nilai kalor bahan bakar semakin meningkat seiring dengan peningkatan kadar campuran. Dari pembakaran bahan bakar hasil perlakuan, didapatkan bahwa temperatur paling tinggi diperoleh pada titik tengah nyala api. Temperatur paling tinggi diperoleh pada campuran 30% dan terendah pada campuran 10%.

Kata Kunci: Pelumas bekas, destilasi, atomizing burner, dan viskositas.

ABSTRACT
So far the used lubricating oil has not been utilized optimally, it has been used for burning in limekiln. There are alternative methods to recycle i.e. by adding concentrated H2SO4 and clay, and by distilling it up to 200oC. The other method which can be done is by mixing it with the lighter fuel, like kerosene. Then the used lubricating oil mixed by kerosene is used as fuel using a high pressure atomizing burner. In this research, the used lubricating oil is mixed with 10%, 20%, 30% and 40% volume of kerosene. The air required for the combustion is supplied from the blower with air flow rate 8 m2/s. The aim of this research is to study the effect of variation of kerosene content in the used lubricating oil-kerosene mixture on the physical properties of the fuel and combustion temperature. From this research, it indicates that the higher percentage of kerosene, the lower fuel viscosity and flash point. The heat value of fuel raise with the increase of the kerosene content. From the combustion of fuel, the highest temperature is obtained in the center point of the flame. The highest temperature is resulted from the mixture of 30% kerosene and the lowest temperature is from the
mixture of 10% kerosene.

Keywords: Used lubricating oil, distillation, atomizing burner, and viscosity.

PENDAHULUAN

Kenaikan harga minyak mentah di pasaran internasional yang melampaui 70 dollar AS per barel (Indartono, 2005) benarbenar menyulitkan Pemerintah Indonesia dimana pada APBN 2005 harga minyak diasumsikan hanya sebesar 24 dollar AS per barel. Pemerintah berada dalam posisi yang dilematis. Kebijak-sanaan untuk menaikkan harga penjualan BBM di dalam negeri walaupun dapat mengurangi subsidi namun dampaknya akan dirasakan lang-sung oleh masyarakat maupun industri kecil yang sangat besar ketergantungannya di bidang transportasi dan energi. Sementara itu dengan tidak menaikkan harga BBM, dengan harga minyak dunia yang tinggi, subsidi yang diberikan Pemerintah akan membesar sehingga mengurangi kemampuan untuk membiayai pemba-ngunan di sektor lain. 

Hal ini secara jelas membuktikan bahwa Indonesia sudah merupakan net oil importer country dimana walaupun merupakan negara pengekspor minyak namun kebutuhan BBM di Indonesia sudah sedemikian tinggi sehingga perlu mengimpor minyak dalam jumlah besar. Sejak mencapai puncaknya pada tahun 1980-an, produksi minyak Indonesia yang pada waktu itu 1,6 juta barel/hari terus menurun hingga menjadi hanya 1,2 juta barel/hari. Sementara itu pertum-buhan konsumsi energi dalam negeri mencapai 10 % per tahun (Indartono, 2005).

Walaupun tidak dikategorikan sebagai bahan bakar minyak namun minyak pelumas sangat penting dikaitkan dengan bidang otomotif dan industri. Berdasarkan sumber dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas), konsumsi minyak pelumas (oli) di Indonesia, baik untuk otomotif maupun mesin-mesin industri mencapai 650 juta liter per tahun dengan peningkatan sekitar 7-10 persen per tahun. Dengan asumsi oli yang terbakar atau terbuang dalam pemakaian mencapai 20%, maka dalam satu tahun diperoleh supply oli bekas sebesar 520 juta liter per tahun atau 1.420 kiloliter per hari. 

Selama ini minyak pelumas bekas, selain dibuang, dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada industri batu gamping atau dibakar begitu saja. Pemba-karan minyak pelumas bekas secara langsung
dikhawatirkan akan menimbulkan pencemaran udara yang tinggi. Proses untuk membakar oli bekas sangat sulit, hal ini karena ikatan karbon dalam oli bekas yang panjang sehingga sulit dalam pemecahannya (cracking). Selain itu dalam oli bekas terdapat kontaminan baik secara fisik (debris logam dan abu) maupun secara kimiawi (pelarut dan air). 

Salah satu proses treatment yang mudah adalah dengan mencampur oli bekas dengan minyak tanah. Dalam penelitian ini akan diteliti pengaruh kadar campuran oli bekas- minyak tanah terhadap sifat-sifat fisik bahan bakar dan temperatur pembakaran.

Oli biasanya diperoleh dari pengolahan minyak bumi yang dilakukan melalui proses destilasi bertingkat berdasarkan perbedaan titik didihnya. Pada saat ini oli dapat juga dihasilkan dari sampah plastik polietilena melalui proses pirolisis (Justiana dan Hardanie, 2005). Polietilena lebih dikenal sebagai bahan untuk membuat botol plastik. 

Menurut US Environmental Protection Agency (EPA’s), proses pembuatan oli melalui beberapa tahap, yaitu :
1. Distilasi
2. Deasphalting untuk menghilangkan kandungan aspal dalam minyak
3. Hidrogenasi untuk menaikkan viskositas dan kualitas
4. Pencampuran katalis untuk menghilangkan lilin dan menaikkan temperatur pelumas parafin
5. Clay or hydrogen finishing untuk meningkatkan warna, stabilitas dan kualitas oli pelumas

Sifat-sifat fisik minyak, termasuk pelumas, secara umum meliputi:

1. Specific Gravity dan Degrees API
Spesific gravity merupakan perbandingan berat dari volume bahan bakar dibagi dengan berat air pada volume yang sama dan diukur pada temperatur yang sama. Derajat API merupakan standard industri yang secara luas digunakan untuk mengukur spesific gravity dari bahan bakar cair.

SpGr merupakan spesific grafity bahan bakar cair, sedangkan 60º/60ºF menyatakan bahwa Deg API diukur pada temperatur 60 ºF (15,6 ºC).

2. Nilai Kalor (Heating Value)

Nilai kalor adalah kalor yang dihasilkan oleh pembakaran sempurna satu satuan berat bahan bakar padat atau cair atau satu satuan volume bahan bakar gas, pada keadaan baku.

Nilai kalor atas (high heating value) adalah kalor yang dihasilkan oleh pembakaran sempurna satu satuan berat bahan bakar padat atau cair atau satu satuan volume bahan bakar gas, pada tekanan tetap
dan temperatur 25 ºC, apabila semua air yang mula-mula berwujud cair setelah pembakaran mengem-bun menjadi cair kembali.

HHV = 22.320 - (3.780 × SG2) Btu/lb (2)

Nilai kalor bawah (low heating value) adalah kalor yang besarnya sama dengan nilai kalor atas dikurangi kalor yang diperlukan oleh air yang terkandung dalam bahan bakar dan air yang terbentuk dari pembakaran bahan bakar untuk menguap pada 25 ºC dan tekanan tetap.

LHV= 19.960(3.780×SG2) +(1.362×SG)Btu/lb (3)

3. Flash dan fire point

Titik nyala (flash point) dari suatu cairan bahan bakar adalah temperatur minimum fluida pada waktu uap yang keluar dari permukaan fluida langsung akan terbakar dengan sendirinya oleh udara di sekililingnya disertai kilatan cahaya. Titik nyala api (fire point) adalah temperatur di atas permukaan fluida pada waktu uap yang keluar akan terbakar secara kontinyu bila nyala api didekatkan padanya.

4. Kekentalan (viscosity)
Satuan dari viskositas dalam sistem cgs adalah poise (1 poise = 1 gr/sec.cm).

Viskositas menunjukkan tingkat kekentalan dari bahan bakar cair. Viskositas merupakan karakteristik bahan bakar cair yang sangat penting dalam proses pembakaran, terutama pada proses pengabutan. 

Sebagai pelumas, oli mempunyai beberapa persyaratan dalam pemakaian yaitu viskositas yang sesuai, indeks viskositas yang relatif rendah, ketahanan terhadap pembentukan karbon dan oksidasi serta ketahanan terhadap tekanan (Crouse, 1946). 

Pada kendaraan bermotor oli dipakai untuk melumasi dinding silinder dari gesekan dengan piston, melumasi roda gigi pada bak persneling (gearbox) dan bagian-bagian poros gardan (cardan shaft). Pada motor dua-langkah, pelumas dicampurkan dengan bahan bakar untuk melumasi dinding silinder, yang dikenal sebagai oli samping. Oli samping ini ikut terbakar bersama bahan bakar. 

Setelah pemakaian dalam jangka waktu tertentu, akibat panas dan tekanan yang tinggi, oli tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan sehingga harus diganti dengan yang baru. Seiring dengan perkembangan di bidang transportasi dan industri, pemakaian minyak pelumas makin meningkat. Meningkatnya kebu-tuhan minyak pelumas berarti juga makin banyak minyak pelumas bekas yang dibuang. Hal ini akan menimbulkan kekhawatiran adanya pencemaran lingkungan apabila minyak pelumas dibuang di sembarang tempat.

Penelitian oleh Marzani (1997) menunjukkan bahwa pembakaran pelumas bekas dengan cara penguapan menggunakan incinerator menghasilkan emisi gas buang yang jauh lebih bersih. 

Untuk menggunakan oli bekas sebagai bahan bakar diperlukan perlakuan (treatment) terlebih dahulu sehingga dapat diperoleh karakteristik bahan bakar yang baik terutama dalam kemudahan penyalaan dan temperatur pembakaran. Prayitno (1999) meneliti kemungkinan minyak pelumas bekas dapat digunakan sebagai minyak bakar dengan penambahan asam sulfat, lempung serta fuel oil. Penambahan H2SO4 bertujuan untuk mengurangi kandungan senyawa olefin, aromatik maupun senyawa nonhidrokarbon yang terdapat dalam minyak pelumas bekas. Penambahan lempung bertujuan untuk mengendapkan kotoran, mengabsorb senyawa sulfur dan memperbaiki warna. Walaupun biayanya relatif murah namun proses pengolahan pelumas bekas dengan metode ini memiliki beberapa resiko. H2SO4 yang sudah tidak terpakai akan menimbulkan pencemaran baru apabila dibuang sembarangan, demikian pula lempung yang telah tercampur dengan kotoran dan senyawa sulfur.

Dari penelitian Purwono (1999) didapatkan bahwa minyak pelumas bekas dapat dapat didaur ulang (didestilasi). Hasil atas berada di antara fraksi solar dan fraksi Industrial Diesel Oil (IDO) sementara hasil bawah berupa minyak pelumas yang dapat dimanfaatkan setelah ditambahkan aditif. Viskositas sangat penting karena mempengaruhi proses atomisasi. Proses atomisasi akan mempengaruhi karakteristik api yang dihasilkan pada pembakaran bahan bakar cair. 

Viskositas yang tinggi akan membuat bahan bakar teratomisasi menjadi tetesan yang lebih besar dengan momentum tinggi dan memiliki kecenderungan untuk bertumbukan dengan dinding silinder yang relatif lebih dingin. Hal ini menyebabkan pemadaman flame dan meningkatkan deposit dan emisi mesin. Pada umumnya, bahan bakar harus mempunyai viskositas yang relatif rendah agar mampu mengalir dan teratomisasi dengan mudah.


Perancangan dan Pembuatan Dapur Peleburan Logam dengan Menggunakan Bahan Bakar Gas (LPG)

Perancangan dan Pembuatan Dapur Peleburan Logam dengan Menggunakan Bahan Bakar Gas (LPG)


Amir Zaki Mubarak, Jurnal Teknik Mesin Unsyiah, volume 1, nomor 3 (Juni 2013)
ISSN 2301-8224
Amir Zaki Mubarak, Akhyar
Jurusan Teknik Mesin,Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk. Syeh Abdurrafuf No. 7 Darussalam - Banda Aceh 23111, Indonesia
**e_mail : akhyarhasan@yahoo.com

Abstract
Foundry industry is very important in the development of both machinery and household products. Furnace is important utility in producing a product. Available furnaces in the market are very costly and difficult to obtain due to be imported from abroad. Responding these issues, in this study is designed and developed a furnace that is simple, easy to manufacture, portable and most importantly the price is low so that it is affordable for industrial-scale domestic foundry industry. The furnace is heated with LPG (Liquefied Petroleum Gas) as the gas is economical and obtainable. Refractory stones are used as a heat insulator to increase the temperature in the combustion chamber to reach 1,000 oC. The heat can be set via the setting of gas that goes into the combustion chamber so that it can be adapted for different types of material with a melting temperature below 1,000 oC. The type of metal melted in this research is aluminum. The test results showed that the furnace is able to melt 0.39 kg of aluminum in 30.15 minutes.

Keywords : furnace, foundry, LPG.

1. Pendahuluan

Perkembangan industri peleburan dan pengecoran logam di Indonesia khususnya provinsi Aceh saat ini sangat rendah. Padahal Indonesia berpotensi menjadi salah satu pasar terbesar di dunia. Industri pengecoran logam berskala kecil banyak yang terkendala perkembangannya, ini disebabkan oleh dapur peleburan logam yang tersedia di pasaran sangat mahal harganya dan susah untuk didapatkan kerena harus diimpor dari luar negeri. Pemilihan jenis dapur dan proses peleburan yang digunakan harus sesuai dengan jenis logam yang dipilih dan juga sesuai dengan produk yang diinginkan.
Jenis dan klasifikasi dapur peleburan yang saat ini berkembang diantaranya adalah dapur krusibel, dapur kupola, dapur busur listrik, dapur induksi, dapur konverter, dan Dapur Thomas dan Bessemer. Bahan bakar yang digunakan juga beragam diantaranya batu bara, bahan bakar minyak, listrik, arang, bahkan bahan bakar berbentuk gas [1].

Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas maka perlu perancangan dan pembuatan dapur peleburan logam yang sederhana, mudah pembuatannya, mudah dipindah-pindahkan (portable) dan yang paling penting adalah murah harganya sehingga dapat dijangkau oleh industri-industri pengecoran skala rumah tangga. Dapur peleburan logam hasil perancangan dan pembuatan tersebut akan memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah efisiensi bahan bakarnya karena menggunakan bahan

bakar gas (LPG) dan temperatur ruang bakar yang mencapai 1000 oC karena kontruksi dapur menggunakan isolasi panas bata tahan api. Untuk itu, perlu mendapatkan sebuah rancangan dapur peleburan alumunium yang relatif murah dengan mengunakan bahan bakar gas (LPG).
Aluminium memiliki titik lebur 660 oC, sehingga dengan suhu dapur 1000oC sangat polensial digunakan untuk meleburkan alumunium. Jenis logam lain yang dapat dileburkan dengan dapur ini titik lebur dibawah 1000 oC adalah tembaga (962 oC), kuningan (940 oC), timah (327 oC), magnesium-lead (630 oC), Sn-Bi (232 oC), dan sebagainya [2].

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan sebuah rancangan dapur peleburan alumunium yang relatif murah dengan menggunakan bahan bakar gas (LPG ), dalam proses peleburan 0.39 kg alumunium bahan bakar yang terpakai dalam peleburan ini adalah 100 gram gas.

PENGARUH ASBUTON TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL PERKERASAN DAUR ULANG DENGAN PEREMAJA OLI BEKAS DAN SOLAR

PENGARUH ASBUTON TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL PERKERASAN DAUR ULANG DENGAN PEREMAJA OLI BEKAS DAN SOLAR

Ludfi Djakfar1, Hendi Bowoputro1, Achmad Wicaksono1, Gagoek Soenar P.1
1Dosen / Jurusan Teknik Sipil / Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Jl. MT. Haryono No. 167 Malang, 65145, Jawa Timur
Korespondensi : ldjakfar@brawijaya.ac.id

ABSTRAK
Teknologi perkerasan daur ulang dapat mengembalikan kekuatan perkerasan, mengurangi ketergantungan terhadap material baru, serta mengurangi limbah perkerasan yang dewasa ini kurang optimal pemanfaatannya. Pada metode pencampuran aspal dingin (coldmix), digunakan peremaja untuk melunakkan aspal yang terkandung dalam perkerasan daur ulang. Peremaja yang digunakan yaitu oli bekas dan solar dengan proporsi oli bekas : solar yaitu 0 : 100, 25 : 75, 50 : 50, 75 : 25, dan 100 : 0, dengan kadar peremaja yang dicampurkan 2%, 4%, 6%, 8%, dan 10% terhadap berat benda uji. Selain itu digunakan asbuton sebagai filler untuk mengisi rongga kosong dalam agregat perkerasan daur ulang. Kadar asbuton yang dicampurkan yaitu 3%, 6%, 9% dan 12% terhadap berat benda uji. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode regresi dan metode analisis ragam dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Berdasarkan hasil dari metode tersebut, semakin banyak asbuton yang dicampurkan maka nilai stabilitas semakin meningkat. Proporsi paling optimum yaitu 75 : 25 dengan kadar asbuton 12% dan peremaja 2,9%. Dari nilai stabilitas benda uji yang diperoleh, nilai stabilitas benda uji tidak memenuhi standar Laston, namun dapat dijadikan alternatif pengganti Latasir.

1. PENDAHULUAN
Seiring dengan kepadatan lalu lintas yang terus meningkat, diperlukan infrastruktur jalan dan perencanaan lapis perkerasan yang baik. Jalan raya merupakan salah satu infrastruktur utama yang sangat penting dalam menunjang pergerakan manusia. Oleh karena itu diperlukan pemeliharaan, rehabilitasi dan rekonstruksi jalan. Rehabilitasi jalan dengan menambah lapis perkerasan (overlay) dapat digunakan sebagai alternatif pembangunan. Namun, menambah lapis perkerasan secara terus-menerus akan berdampak pada tingginya elevasi jalan dan ketersediaan material yang dibutuhkan semakin menipis. Perlu adanya inovasi baru dalam mencari pembangunan alternatif. Salah satu alternatif yang bisa dipilih yaitu metode daur ulang (recycling). Penanganan

dengan metode daur ulang ini dapat menghemat bahan perkerasan jalan, energi, dan ekonomi.
Pemerintah Indonesia melalui PP No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) telah menyerukan tentang bahaya limbah bahan berbahaya dan beracun terhadap lingkungan. Salah satu limbah B3 yaitu oli bekas yang hingga saat ini masih minim pemanfaatannya
Solar merupakan bahan bakar kendaraan bermotor yang menghasilkan gas CO2 yang menghasilkan emisi gas berbahaya bagi lingkungan. Akan tetapi, bukan berarti dengan permasalahan tersebut pemanfaatan solar ditiadakan karena solar merupakan bahan olahan minyak bumi yang mempunyai kegunaan lain selain sebagai bahan bakar kendaraan.

Saat ini penggunaan asbuton di Indonesia belum optimal karena masih kalah bersaing dengan aspal minyak. Sehingga ketersediaan asbuton di Indonesia masih melimpah. Juga melimpahnya bahan perkerasan jalan yang dapat didaur ulang akan lebih bermanfaat dengan penambahan oli bekas dan solar sebagai bahan peremaja. Hal ini dikarenakan aspal yang mempunyai viskositas tinggi memerlukan bahan pelarut yang viskositasnya lebih rendah sehingga bahan peremaja dapat menyebar dengan merata pada agregat aspal daur ulang. Selain itu, untuk mengisi rongga yang kosong dalam aspal daur ulang dibutuhkan asbuton sebagai bahan pengganti agregat.
(Iqbal & Rizaldy, 2013) melakukan penelitian mengenai bahan peremaja oli bekas mobil sebagai bahan peremaja aspal. Dari hasil penelitian tersebut, peneliti menyarankan penggunaan oli bekas pada aspal daur ulang sebaiknya ditambahkan dengan bahan lain yang lebih mampu melunakkan aspal agar agregat dapat terikat dengan baik. Hal ini yang menjadi dasar penelitian ini untuk mengamati pengaruh variasi bahan peremaja berupa campuran oli bekas dengan solar dan asbuton sebagai pengganti agregat untuk memperbaiki kualitas aspal daur ulang.

2. METODE PENELITIAN
Dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Iqbal & Rizaldy, 2013) diperoleh beberapa data sebagai berikut :
1. Stabilitas rata-rata 10 sampel 938 kg.
2. Kadar aspal rara-rata pengujian ekstraksi dari 2 sampel diperoleh 6,61% .
3. Analisis saringan yang diperoleh yaitu :
    a. Tertahan saringan no. 3/4 : 0 gr (0% terhadap jumlah)
    b. Tertahan saringan no. ½ :23,7gr (4,31% terhadap jumlah)
    c. Tertahan saringan no. 3/8 : 65,4 gr (11,89% terhadap jumlah)
    d. Tertahan saringan no. 4 : 107,4 gr (19,53% terhadap jumlah)
    e. Lolos no. 4 : 353,4 gr (64,27% terhadap jumlah)
4. Berat jenis aspal rata-rata sebesar dari 2 sampel diperoleh 1,155.
5. Void In Mix (VIM) rata-rata dari 10 sampel diperoleh 2,11%.
6. Void In Mineral Agregate (VMA) rata-rata dari 10 sampel yaitu 13,79%.
7. Void Filled Bitument (VFB) rata-rata dari 10 sampel yaitu 84,84%.

Banyaknya benda uji yang dibuat dapat ditentukan dengan rumus pendekatan sebagai berikut (Suharto, 2004)

(r - 1) . (t - 1) ≈ 15

Dimana r merupakan replikasi atau perulangan dan t merupakan treatment atau perlakuan.
Dalam penelitian ini digunakan empat variasi kadar asbuton, tiga variasi kadar bahan peremaja, dan lima variasi proporsi kadar bahan peremaja. Sehingga jumlah treatment adalah 60, maka :
(r – 1) . (t – 1) ≈ 15
(r – 1) . (60 – 1 ) = 15
60 r – r – 60 + 1 = 15
59 r – 59 = 15
r= 15+5959
r = 1,25 ≈ 3 buah
Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan benda uji minimal 3 buah. Proporsi oli bekas : solar yaitu 0 : 100, 25 :75, 50 : 50, 75 : 25, dan 0 : 100. Kadar asbuton yang dicampuran pada penelitian ini yaitu 3%, 6%, 9%, dan 12% dari berat benda uji. Kadar peremaja yang dicampurkan pada penelitian ini yaitu 2%, 4%, 6%, 8%, dan 10% dari berat benda uji.

Setelah memperoleh data-data yang diperlukan, maka dilanjutkan dengan analisa secara statistik yang bertujuanuntuk mengetahui bagaimana pengaruh proporsi oli bekas : solar, kadar peremaja dan kadar asbuton terhadap stabilitas campuran aspal daur ulang. Dalam analisis statistik ini, ada dua tahap analisis, yaitu tahap cek validitas data hasil penelitian kemudian dilanjutkan ke tahap metode analisis ragam digunakan rancangan acak lengkap dengan analisis faktorial 3 faktor. Selanjutnya dilakukan analisis dengan metode regresi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hubungan Antar Variabel
Analisa hubungan antar variabel ini menggunakan grafik tiga dimensi yang nantinya akan diperoleh hubungan antara nilai stabilitas, kadar asbuton, dan peremaja tiap proporsinya. Dalam grafik ini terdapat tiga sumbu X, Y, dan Z. Dimana X adalah kadar peremaja, Y adalah kadar asbuton, dan Z adalah nilai stabilitas tiap proporsinya. Berikut adalah gambar grafik tiga dimensi hubungan antara tiga variabel pada tiap proporsinya :